POS-KUPANG.COM, LABUAN BAJO-Keterbatasan ekonomi memaksa Sidimius Jelatu (30) meninggalkan istri serta dua orang anaknya di kampung. Sidimius berniat pergi ke Kalimantan dengan harapan bisa dapat pekerjaan yang lebih baik menghidupi keluarganya.
Sidi, sapaan Sidimus merupakan satu dari 75 calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Manggarai Barat yang dicegah keberangkatannya menuju Kalimantan oleh aparat gabungan TNI-Polri di Pelabuhan Multipurpose Labuan Bajo, Rabu 22 November 2023.
Warga Kampung Jeong, Desa Dunta, Kecamatan Welak, Kabupaten Manggarai Barat, selama ini menjalani pekerjaan petani musiman, tidak memiliki pekerjaan tetap.
Kekeringan berkepanjangan menjadi alasan Sidi meninggalkan kampung halaman dan pergi merantau. Pasalnya dia tak bisa lagi menanam sayur dan jagung yang biasa hasil panennya digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari keluarganya.
Dia kelimpungan untuk menafkahi istri serta dua anaknya yang masih kecil. Baginya tidak ada pilihan lain selain merantau
“Lahan sudah kering kami tidak bisa tanam lagi, mau makan apa (karena tidak tanam) terpaksa pergi merantau ke Kalimantan,” ungkapnya, ditemui di Kantor Bupati Manggarai Barat, Kamis 23 November 2023.
Dia kelimpungan untuk menafkahi istri serta dua anaknya yang masih kecil. Baginya tidak ada pilihan lain selain merantau
“Lahan sudah kering kami tidak bisa tanam lagi, mau makan apa (karena tidak tanam) terpaksa pergi merantau ke Kalimantan,” ungkapnya, ditemui di Kantor Bupati Manggarai Barat, Kamis 23 November 2023.
Sidi bukan baru pertama bekerja di Kalimantan, sebelumnya dia pernah bekerja sebagai buruh kelapa sawit di salah satu perusahaan di Kalimantan Tengah selama 10 bulan. Namun urusan keluarga yang mendesak kala itu memaksanya untuk pulang kampung.
Dua tahun berlalu, laki-laki itu kembali ditawar bekerja di Kalimantan, juga sebagai buruh kelapa sawit. Kondisi ekonomi yang buruk membuatnya tak perlu pikir dua kali, dia menyetujui tawaran itu dan siap berangkat karena butuh uang, bermodalkan KTP. “Saya hanya diminta kumpul KTP dari yang rekrut,” katanya.
Sebelum proses pemberangkatan, Sidi bersama beberapa kawan-kawan di kampungnya sempat bertemu dengan seorang perekrut. Mereka dijanjikan akan digaji Rp134 ribu per hari, dengan 14 jam kerja, 07.00-14.00 waktu setempat.
Dari pengalaman merantau sebelumnya, Sidi tak mengelak banyak pekerja asal NTT tidak peduli soal perizinan, begitupun kesehatan dan keselamatan. Hal itu umumnya muncul dari pekerja migran yang sudah lama merantau.
Faktor lain pergi merantau tanpa dokumen lengkap atau ilegal karena minim literasi dan terdesak kebutuhan ekonomi. “Jalan satu-satunya itu, jalan saja. Kalau tidak anak istri mau kasih makan apa,” papar Sidi.
Setidaknya Sidi bersyukur, batalnya keberangkatan itu membuat matanya terbuka, bahwa harus ada dokumen yang diurus sebelum berangkat bekerja di luar daerah ataupun luar negeri. Dia juga baru tahu bahwa perusahaan yang merekrutnya tidak memiliki izin rekrutan di wilayah NTT.
“Sekarang bisa tahu surat dari perusahaan tidak ada, sebelumnya kami tidak tahu, setelah ditahan ini baru tahu, kami hanya diminta kumpul KTP,” ucap Sidi.
Sisi lain pria itu bingung bagaimana cara mendapatkan uang setelah dipulangkan kembali ke kampung. Dia berharap ada solusi yang bisa diberikan pemerintah semisal memberinya pelatihan atau lapangan pekerjaan. “Yang saya butuhkan sekarang hanya uang untuk menghidupi anak istri saya di kampung,” tutupnya.*
Sumber: Flores Tribun News