Flora, fauna, dan batu mulia dari bumi Kalimantan sudah dikenal sejak berabad-abad silam.
Pesisir utara menjadi persinggahan awal orang Eropa di Kalimantan. Yang tercatat pertama kali datang adalah orang Italia Ludovico da Vartherma antara 1504 dan 1507.
Pada 1521, Anton Pigaffeta tercatat menjadi penulis yang mengunjungi Kesultanan Brunei. Brunei inilah yang menjadi Borneo ketika keluar dari mulut orang Eropa itu sehingga menjadi penyebutan untuk Kalimantan.
Ketika orang Jawa mengenal pulau ini, menurut JB Ave dan LT King yang menulis Borneo pada 1986, orang Jawa berbeda menyebutnya. Lamanta adalah penyebutan pertama untuk pulau ini. Diambil dari nama lokal sagu mentah. Pohon enau yang menghasilkan sagu banyak tumbuh di pulau ini.
Oleh orang Jawa, dari Lamanta menjadi Kalimantan yang berarti sungai berbatu mulia. Aktivitas mendulang batu mulia banyak dilakukan warga di sungai-sungai. CW Mieling membuat grafis aktivitas mendulang intan di Martapura dekat Banjarmasin pada pertengahan abad ke-19 yang dimuat di buku Borneo karya CALM Schwaner.
Schwaner bercerita, mereka mendulang memakai linggang yang terbuat dari kayu ulin. Setiap mendapat intan, mereka buru-buru memasukkannya ke mulut agar tidak berubah menjadi batu biasa. Setelah itu, menggemalah shalawat dari para pendulang sebagai pertanda ada intan yang diperoleh.
Koloni orang Jawa sudah ada sejak pertengahan abad ke-13. “… rupanya kekuatan Jawa di laut sudah lama sebelum dibangun oleh Kerajaan Jenggala,” tulis PJ Veth di buku Borneo Bagian Barat.
Jenggala berdiri pada 1020-1132. Kerajaan di Jawa pada abad ke-13 adalah Singasari. Berdiri pada 1222 sebelum digantikan Majapahit pada 1293. Sejarawan Adrian B Lapian mencatat di bukunya Pelayaran dan Perniagaan Nusantara, Jawa sudah terkenal di seantero Asia Tenggara dengan galangan kapalnya di Lasem, khususnya pada abad ke-16.
Bekas-bekas kolonisasi Jawa juga meninggalkan jejak bahasa. “Di Kapuas Hulu, sering terdengar kata Jawa ‘inggih’ dengan mana yang rendah menerima kemauan dari yang lebih tinggi,” tulis Veth yang menceritakan Kalimantan pada era 1850-an.
Flora, fauna, dan batu mulia dari bumi Kalimantan sudah dikenal sejak berabad-abad silam.
Pesisir utara menjadi persinggahan awal orang Eropa di Kalimantan. Yang tercatat pertama kali datang adalah orang Italia Ludovico da Vartherma antara 1504 dan 1507.
Pada 1521, Anton Pigaffeta tercatat menjadi penulis yang mengunjungi Kesultanan Brunei. Brunei inilah yang menjadi Borneo ketika keluar dari mulut orang Eropa itu sehingga menjadi penyebutan untuk Kalimantan.
Ketika orang Jawa mengenal pulau ini, menurut JB Ave dan LT King yang menulis Borneo pada 1986, orang Jawa berbeda menyebutnya. Lamanta adalah penyebutan pertama untuk pulau ini. Diambil dari nama lokal sagu mentah. Pohon enau yang menghasilkan sagu banyak tumbuh di pulau ini.
Oleh orang Jawa, dari Lamanta menjadi Kalimantan yang berarti sungai berbatu mulia. Aktivitas mendulang batu mulia banyak dilakukan warga di sungai-sungai. CW Mieling membuat grafis aktivitas mendulang intan di Martapura dekat Banjarmasin pada pertengahan abad ke-19 yang dimuat di buku Borneo karya CALM Schwaner.
photo
Schwaner bercerita, mereka mendulang memakai linggang yang terbuat dari kayu ulin. Setiap mendapat intan, mereka buru-buru memasukkannya ke mulut agar tidak berubah menjadi batu biasa. Setelah itu, menggemalah shalawat dari para pendulang sebagai pertanda ada intan yang diperoleh.
Koloni orang Jawa sudah ada sejak pertengahan abad ke-13. “… rupanya kekuatan Jawa di laut sudah lama sebelum dibangun oleh Kerajaan Jenggala,” tulis PJ Veth di buku Borneo Bagian Barat.
Jenggala berdiri pada 1020-1132. Kerajaan di Jawa pada abad ke-13 adalah Singasari. Berdiri pada 1222 sebelum digantikan Majapahit pada 1293. Sejarawan Adrian B Lapian mencatat di bukunya Pelayaran dan Perniagaan Nusantara, Jawa sudah terkenal di seantero Asia Tenggara dengan galangan kapalnya di Lasem, khususnya pada abad ke-16.
Bekas-bekas kolonisasi Jawa juga meninggalkan jejak bahasa. “Di Kapuas Hulu, sering terdengar kata Jawa ‘inggih’ dengan mana yang rendah menerima kemauan dari yang lebih tinggi,” tulis Veth yang menceritakan Kalimantan pada era 1850-an.
Sungai, hingga kini, masih sebagai tempat mendulang batu mulia dan menjadi prasarana transportasi. Itu lah sebabnya, Tim Ralasuntai juga menyusurinya, mencari tempat pendaratan yang laik.
Di muara Barito, Banjarmasin, tim sempat singgah ke “pulau kaget”. Mereka ingin menyaksikan binatang endemik Kalimantan, bekantan (Nasalis lavartus) yang mudah terlihat pada sore hari, tapi tak terlihat sore itu.
Bekantan
Tim baru bisa melihat bekantan di Hutan Bakau Manubar, Kalimantan Timur, pada 27 Mei. “Daun-daun hutan bakau, khususnya daun bakau muda Rhizophora dan perepat Sonneratia merupakan bagian penting menu makanan bekantan di daerah pantai,” tulis Kathy Mackinnon dkk dalam bukunya Ekologi Kalimantan.
Flora, fauna, dan batu mulia dari bumi Kalimantan sudah dikenal sejak berabad-abad silam.
Pesisir utara menjadi persinggahan awal orang Eropa di Kalimantan. Yang tercatat pertama kali datang adalah orang Italia Ludovico da Vartherma antara 1504 dan 1507.
Pada 1521, Anton Pigaffeta tercatat menjadi penulis yang mengunjungi Kesultanan Brunei. Brunei inilah yang menjadi Borneo ketika keluar dari mulut orang Eropa itu sehingga menjadi penyebutan untuk Kalimantan.
Ketika orang Jawa mengenal pulau ini, menurut JB Ave dan LT King yang menulis Borneo pada 1986, orang Jawa berbeda menyebutnya. Lamanta adalah penyebutan pertama untuk pulau ini. Diambil dari nama lokal sagu mentah. Pohon enau yang menghasilkan sagu banyak tumbuh di pulau ini.
Oleh orang Jawa, dari Lamanta menjadi Kalimantan yang berarti sungai berbatu mulia. Aktivitas mendulang batu mulia banyak dilakukan warga di sungai-sungai. CW Mieling membuat grafis aktivitas mendulang intan di Martapura dekat Banjarmasin pada pertengahan abad ke-19 yang dimuat di buku Borneo karya CALM Schwaner.
Schwaner bercerita, mereka mendulang memakai linggang yang terbuat dari kayu ulin. Setiap mendapat intan, mereka buru-buru memasukkannya ke mulut agar tidak berubah menjadi batu biasa. Setelah itu, menggemalah shalawat dari para pendulang sebagai pertanda ada intan yang diperoleh.
Koloni orang Jawa sudah ada sejak pertengahan abad ke-13. “… rupanya kekuatan Jawa di laut sudah lama sebelum dibangun oleh Kerajaan Jenggala,” tulis PJ Veth di buku Borneo Bagian Barat.
Jenggala berdiri pada 1020-1132. Kerajaan di Jawa pada abad ke-13 adalah Singasari. Berdiri pada 1222 sebelum digantikan Majapahit pada 1293. Sejarawan Adrian B Lapian mencatat di bukunya Pelayaran dan Perniagaan Nusantara, Jawa sudah terkenal di seantero Asia Tenggara dengan galangan kapalnya di Lasem, khususnya pada abad ke-16.
Bekas-bekas kolonisasi Jawa juga meninggalkan jejak bahasa. “Di Kapuas Hulu, sering terdengar kata Jawa ‘inggih’ dengan mana yang rendah menerima kemauan dari yang lebih tinggi,” tulis Veth yang menceritakan Kalimantan pada era 1850-an.
Sungai, hingga kini, masih sebagai tempat mendulang batu mulia dan menjadi prasarana transportasi. Itu lah sebabnya, Tim Ralasuntai juga menyusurinya, mencari tempat pendaratan yang laik.
Di muara Barito, Banjarmasin, tim sempat singgah ke “pulau kaget”. Mereka ingin menyaksikan binatang endemik Kalimantan, bekantan (Nasalis lavartus) yang mudah terlihat pada sore hari, tapi tak terlihat sore itu.
Bekantan
Tim baru bisa melihat bekantan di Hutan Bakau Manubar, Kalimantan Timur, pada 27 Mei. “Daun-daun hutan bakau, khususnya daun bakau muda Rhizophora dan perepat Sonneratia merupakan bagian penting menu makanan bekantan di daerah pantai,” tulis Kathy Mackinnon dkk dalam bukunya Ekologi Kalimantan.
Bulunya cokelat kemerahan, perut, kaki, lengan, dan ekor panjang berwarna putih abu-abu, dan bekantan jantan berhidung besar kemerahan. Hidung besar inilah yang membuat bekantan jantan disebut juga monyet belanda. “Karena kemiripannya dengan orang Belanda yang terbakar oleh terik matahari,” tulis Kathy Mackinnon.
Hidung besar ini bermanfaat sebagai pengeras suara ketika bekantan jantan meneriakkan peringatan tanda bahaya. Bahkan, juga menjadi daya penarik bekantan betina.
Bekantan hanya ditemukan di wilayah pantai dan tepi sungai, termasuk tepi sungai di pedalaman hutan Kalimantan. Karenanya, bekantan dikenal sebagai perenang ulung dan mampu bertahan di dalam air dalam beberapa menit.
Dini hari dan siang menjelang sore adalah waktu tepat untuk mendapati bekantan di tepian pantai/sungai. Bersama orang utan (Pongo pygmaeus) dan singapuar bangka (Tarsius bancanus), bekantan merupakan primata yang terancam punah karena habitat yang rusak.
Kisah Buaya Raksasa
Dari Miang, Tim Ralasuntai melanjutkan perjalanan ke Manubar di Kutai Timur. Selain bisa melihat bekantan, di Manubar, tim mendapatkan cerita soal buaya raksasa. “Manubar adalah tempatnya monster buaya di Kalimantan,” ujar Komandan Pos AL Manubar kepada Tim Ralasuntai.
Pada Maret 2010, nelayan Manubar Sahar diterkam buaya sepanjang enam meter dengan lebar badan 1,4 meter dan moncong mulut 85 cm. Beratnya mencapai satu ton. Setelah buaya ditangkap, Sahar ditemukan sudah tak bernyawa di dalam perut buaya itu.
Di perut buaya itu pula ditemukan kaki kerbau yang dimangsa tiga hari sebelum memangsa Sahar. Menurut pawang buaya, di perairan yang termasuk wilayah Cagar Alam Sangkulirang ini ada 2.600 buaya dan diperkirakan masih ada yang lebih besar lagi.
Kibarkan Merah Putih di Dalam Laut
Pada Hari Kebangkitan Nasional, Tim Ralasuntai berada di perairan Bontang. Di bawah permukaan laut, di garis nol derajat khatulistiwa, Tim Ralasuntai bersama para penyelam mengibarkan bendera merah putih.
Upacara yang melibatkan 25 penyelam itu dipimpin Mayor Mar Freddy Ardianzah. Di atas permukaan laut juga diadakan pengibaran bendera, diikuti 29 orang, dipimpin Ketua Umum Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) Bontang Kamilan SP.
Pelayanan Kesehatan
Bertemu warga di pulau-pulau kecil menjadi pengalaman tersendiri bagi Tim Ralasuntai. Warga selalu menyambut gembira personel TNI yang berkunjung. Di Pulau Miang, Freddy mendapati “kartu” ucapan selamat atas kelahiran seorang bayi yang dikirim oleh Komandan KRI Nanggala.
Sumber : Republika